Selasa, 29 Juni 2010

ANTIBIOTIK DAN KEKEBALAN TUBUH PADA ANAK





ULASAN mengenai perlunya mewaspadai penggunaan antibiotik secara tidak
rasional sudah sering dibahas. Akan tetapi, bagaimanapun, "kampanye"
memerangi penggunaan antibiotik secara irasional itu masih kalah marak
dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Anak-anak termasuk bayi adalah golongan usia yang secara tidak langsung
kerap menjadi obyek "ceruk pasar" dari berbagai produk antibiotik yang
diresepkan dokter. Hingga hari ini pun sebagian dokter masih kerap
menunjukkan sikap ketidaksukaan jika menghadapi pasien cerewet alias
kritis. Masih banyak pula pasien-yang notabene konsumen medis-segan banyak
bertanya kepada dokter, dan memilih manggut-manggut saja jika diberi obat
apa pun oleh dokter.

"Sebenarnya kan lucu jika kita tidak tahu apa sebenarnya yang kita bayar.
Terlebih yang kita bayar itu untuk dikonsumsi oleh anak kita yang
merupakan amanat Tuhan. Ketidaktahuan ini sering kali dibiarkan oleh
kalangan medis, malah kerap dimanfaatkan, " ujar dr Purnamawati S Pujiarto,
SpAK, MMPed, yang aktif mengedukasi para orangtua dalam mengonsumsi produk
dan jasa medis, termasuk melalui milis (mailing list).

Seperti dipaparkan Purnamawati, antibiotik berasal dari kata anti dan bios
(hidup, kehidupan). Dengan demikian, antibiotik merupakan suatu zat yang
bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikro-organisme
(jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Antibiotik tidak dapat
membunuh virus sebab virus memang bukan "barang" hidup. Ia tidak dapat
berkembang biak secara mandiri dan membutuhkan materi genetik dari sel
pejamu, misalnya sel tubuh manusia, untuk berkembang biak.

Sementara masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan
antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang
gejala yang
menyertai flu kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, pilek.
antibiotik yang dianggap sebagai "obat dewa". Pasien irasional seperti ini
seperti menuntut dokter menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak
mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.

"Orangtua sebagai yang dititipi anak oleh Tuhan harusnya tak segan-segan
bertanya sama dokter. Apakah anaknya benar-benar butuh antibiotik?
Bukankah
penyebabnya virus? Tanyakan itu kepada dokter," kata Purnamawati tegas.
Namun, kadangkala menghadapi orangtua yang bersikap kritis, sebagian
dokter
beralasan antibiotik harus diberikan mengingat stamina tubuh anak sedang
turun karena flu. Jika tidak diberi antibiotik, hal itu akan memberi
peluang
virus dan kuman lain menyerang.

Mengenai hal itu, Purnamawati menanggapi, "Sejak lahir kita sudah dibekali
dengan sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi,
sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi. Infeksi karena virus
hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan
baik dan istirahat cukup, serta diberi obat penurun panas jika suhunya di
atas 38,5 derajat Celsius. Jadi, bukan diberi antibiotik. Kecuali kalau
kita punya gangguan sistem imun seperti terserang HIV. Flu akan sembuh
dengan sendirinya, antibiotik hanya memberi efek plasebo (bohongan)."

Hal senada juga secara tegas dikatakan farmakolog Prof dr Iwan Darmansjah,
SpFk. "Antibiotik yang diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak
sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi anak malah turun imunitasnya, lalu
sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan
sakit lagi. Terus begitu, dan kunjungan ke dokter makin sering karena anak
tambah mudah sakit," ujar Iwan.

PURNAMAWATI menggarisbawahi, antibiotik baru dibutuhkan anak ketika
terserang infeksi yang disebabkan bakteri.

Contoh penyakit akibat infeksi bakteri adalah sebagian infeksi telinga,
infeksi sinus berat, radang tenggorokan akibat infeksi kuman streptokokus,
infeksi
saluran kemih, tifus, tuberkulosis, dan diare akibat amoeba hystolytica.
Namun jika antibiotik digunakan untuk infeksi yang nonbakteri, hal itu
malah menyebabkan berkembang biaknya bakteri yang resisten.

"Perlu diingat juga, untuk radang tenggorokan pada bayi, penelitian
membuktikan 80-90 persen bukan karena infeksi bakteri streptokokus, jadi
tidak perlu antibiotik. Radang karena infeksi streptokokus hampir tidak
pernah terjadi pada usia di bawah dua tahun, bahkan jarang hingga di bawah
empat tahun," kata Purnamawati.

Beberapa keadaan yang perlu diamati jika anak mengonsumsi antibiotik
adalah gangguan saluran cerna, seperti diare, mual, muntah, mulas/kolik,
ruam
kulit, hingga pembengkakan bibir, kelopak mata, hingga gangguan napas.
"Berbagai penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini
akan
mencetuskan terjadinya alergi di masa yang akan datang," kata Purnamawati
tandas.

Kemungkinan lainnya, gangguan akibat efek samping beberapa jenis
antibiotik adalah demam, gangguan darah di mana salah satu antibiotik
seperti kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang sehingga produksi
sel-sel darah menurun. Lalu, kemungkinan kelainan hati, misalnya
antibiotik eritromisin, flucloxacillin, nitrofurantoin, trimetoprim,
sulfonamid. Golongan amoxycillin clavulinic acid dan kelompok makrolod
dapat menimbulkan allergic hepatitis. Sementara antibiotik golongan
aminoglycoside, imipenem/meropenem, ciprofloxacin juga dapat menyebabkan
gangguan ginjal.

Jika anak memang memerlukan antibiotik karena terkena infeksi bakteri,
pastikan dokter meresepkan antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri yang
dituju, yaitu antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum antibiotic).
Untuk infeksi bakteri yang ringan, pilihlah yang bekerja terhadap bakteri
gram positif, sementara infeksi bakteri yang lebih berat (tifus,
pneumonia, apendisitis) pilihlah antibiotik yang juga membunuh bakteri
gram negatif. Hindari pemakaian salep antibiotik (kecuali infeksi mata),
serta penggunaan lebih dari satu antibiotik kecuali TBC atau infeksi berat
di rumah sakit.

Jika anak terpaksa menjalani suatu operasi, untuk mencegah infeksi
sebenarnya antibiotik tidak perlu diberikan dalam jangka waktu lama.
"Bahkan pada operasi besar seperti jantung, antibiotik cukup diberikan
untuk dua hari saja," ujar Iwan. Purnamawati menganjurkan, para orangtua
hendaknya selalu memfotokopi
dan mengarsip segala resep obat dari dokter, dan tak ada salahnya
mengonsultasikan kepada ahli farmasi sebelum ditebus.

Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru
dan lebih kuat. Sementara kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten
akibat penggunaan antibiotik yang irasional. Inilah yang akan menjadi
masalah besar kesehatan masyarakat. Antibiotik dalam penggunaan yang tepat
adalah penyelamat, tetapi jika digunakan tidak tepat dan brutal, ia akan
menjadi bumerang.

"Antibiotik seperti pisau bermata dua. Untuk itu, media massa berperan
besar menginformasikan hal ini dan tidak perlu khawatir jika industri
farmasi ngambek tak mau beriklan," 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar